OLEH :
KELOMPOK
DEVI SASMITA
VIDYA SARI NF
PPKn C 015
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
A. Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni., sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri
manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari. Etnosentrisme
cenderung memandang rendah orang-orang yang dianggap asing, etnosentrisme
memandang dan mengukur budaya asing dengan budayanya sendiri.
Ada satu suku Eskimo yang menyebut diri mereka
suku Inuit yang berarti “penduduk sejati” [Herbert, 1973, hal.2]. Sumner
menyebutkan pandangan ini sebagai etnosentrisme, yang secara formal
didefinisikan sebagai “pandangan bahwa kelompoknya sendiri” adalah pusat
segalanya dan semua kelompok lain dibandingkan dan dinilai sesuai dengan
standar kelompok tadi [Sumner, 1906, hal.13]. Secara kurang formal
etnosentrisme adalah kebiasaan setiap kelompok untuk menganggap kebudayaan
kelompoknya sebagai kebudayaan yang paling baik.
Etnosentrisme terjadi jika masing-masing
budaya bersikukuh dengan identitasnya, menolak bercampur dengan kebudayaan
lain. Porter dan Samovar mendefinisikan etnosentrisme seraya menuturkan,
“Sumber utama perbedaan budaya dalam sikap adalah etnosentrisme, yaitu
kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan
kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk
penilaian. Makin besar kesamaan kita dengan mereka, makin dekat mereka dengan
kita; makin besar ketidaksamaan, makin jauh mereka dari kita. Kita cenderung
melihat kelompok kita, negeri kita, budaya kita sendiri, sebagai yang paling
baik, sebagai yang paling bermoral.”
Etnosentrisme membuat kebudayaan kita sebagai patokan untuk mengukur
baik-buruknya kebudayaan lain dalam proporsi kemiripannya dengan budaya kita.
Ini dinyatakaan dalam ungkapan : “orang-orang terpilih”, “progresif”, “ras yang
unggul”, dan sebagainya. Biasanya kita cepat mengenali sifat etnosentris pada
orang lain dan lambat mengenalinya pada diri sendiri. Etnosentrisme mungkin
memiliki daya tarik karena faham tersebut mengukuhkan kembali “keanggotaan”
seseorang dalam kelompok sambil memberikan penjelasan sederhana yang cukup
menyenangkan tentang gejala sosial yang pelik.
B. Langkah-langkah Pembelajaran
1. Mengamati
Pengamatan yang kami lakukan
tempatnya dikalangan masyarakat. Lingkungan kampus biru, di rumah dan di kost
narasumber.
2. Menanya
Melakukan wawancara dengan beberapa
masyarakat, baik mahasiswa(i) atau para pekerja. Berikut pertanyaannya :
a. Bagaimana
tanggapan anda, tentang orang yang beranggapan bahwa budaya atau sukunyalah
yang terbaik diantara budaya atau suku lainnya ?
b. Untuk
mencegah terjadinya perpecahan antar masyarakat akibat etnosentrisme, menurut anda, apa yang sebaiknya kita lakukan ?
3. Mengumpulkan
Data
Jenis pengumpulan data yang kami
lakukan yaitu :
a. Wawancara
1) Narasumber
: atas nama Uci Ashari. Menurut mahasiswi jurusan PPKn ini tidak ada salahnya
bila seseorang menganggap bahwasannya sukunyalah yang terbaik dan memiliki
budaya yang paling unik. Karena orang-orang cennderung memberikan nilai baik
bila menyangkut hal-hal pribadi. Mahasiswi dari kabupaten Bone ini, tidak
menyangkal bahwa diapun pernah memiliki pandangan seperti itu. Bila terjadi
perpecahan akibat hal ini, menurutnya lain lagi ceritanya. Tidak ada alasan
yang membenarkan terjadinya perpecahan akibat hal-hal sepele. Walaupun kita
berbeda-beda tapi kita satu. Perbedaan inilah yang membuat kita unik. Kita bisa
menghindari atau mencehag terjadinya perpecahan dengan saling bertoleransi.
2) Narasumber
: atas nama MUH. Shaffaat. Menurut mahasiswa UNM ini setiap orang memilki hak dan keistimewaan
masing-masing. Begitupun dengan pandangan terhadap suku dan budayanya. Hal ini tidak
salah selagi tidak menjatuhkan suku dan budaya dari daerah lainnya. Menurutnya
apabila terjadi perpecahan akibat pandangan seperti ini, maka kita hanya akan
saling meyakiti sesama saudara, karena kita adalah bangsa Indonesia yang
memanag di dalamnya terdapat begitu banyak suku dan bangsa. Kita harus
menyelesaiakan masalah dengan cara kekeluargaan dan harus memahami bahwa setiap
suku memilki keunikan masing-masing.
3) Narasumber
: atas nama Nur Islami. Tidak setiap orang akan beranggapan bahwa suku dan budayanya
yang terbaik, menurut pegawai ibnu sina ini masih banyak masyarakat yang
menilai bahwa suku dan budaya miliki orang lain lebih baik. Namun, mereka tetap
berbangga dan bersyukur atas keunikan apa yang dimilki disukunya. Kita hanya
perlu mengambil sikap yang bijak dengan perbedaan-perbedaan yang kita temui di luar
sana. Mereka yang beranggapan bahwa sukunyalah yang paling baik itu tidak salah
dan juga tidak benar, karena pada hakikatnya manusia memang seperti itu,
memilki sifaat yang naïf dan sombong, maka dari itu kita harus pintar-pintar
bersikap agar tak terjadi perpecahan akibat hal ini. Adapun bila terjadi
perpecahan, akan sangat sulit untuk menyatukan kita kembali karena ego yang
dimiliki. Kita sebaiknya saling memaafkan untuk menyatukan atau memperbaiki
kesalahan.
4) Narasumber
: atas nama MUH. Taufik. Menurut mahasiswa UIN ini ada baik dan buruknya bila
seseorang beranggapan bahwa suku dan budayanyalah yang terbaik. Buruknya ialah,
secara tidak langsung dia telah merendahkan suku dan budaya milik orang lain.
Baiknya bahwa dia merasa bangga dengan suku dan budayanya, hal ini membuat rasa
percaya dirinya terjaga dari pengaruh-pengaruh budaya luar. Namun, apabila
terjadi perpecahan, kita harus menyelesaikannnya dengan cepat agar tak terjadi
kekacauan lebih jauh. Seharusnya kita saling menghargai sesama manusia, adapun
latar belakang kita yang berbeda itu hanyalah background semata tapi tujuan dan status kita sebagai masyarakat
sama dimata negara. Pun pemerintah tak dapat menyatukan kita kembali apabila
kita menolak disatukan atau meyatukan diri hanya karena menganggap bahwa suku
dan budaya kitalah yang terbaik.
5) Narasumber
: atas nama Mardiana. Menurutnya, lucu ketika ada seseorang yang dengan
bangganya mengatakan suku dan budanyalah yang terbaik. Dia merasa tidak
sepantasnya, seseorang beranggapan seperti itu, hal ini sama dengan membodohi
diri sendiri, dia mencoba membohongi dirinya. Karena pasti, diam-diam dia
mengakui bahwa budaya si A lebih baik dibidang B, namun dia tak ingin mengakui
itu dengan berbagai alasan. Perpecahan akibat merasa paling baik dari segi suku
dan budaya memang tak dapat kita hindari. Karena, bila kita berada di daerah si
B, kemudian kita menemukan perbedaan sikap seseorang dengan yang ada di daerah
kita tanpa tahu artinya kita pasti akan tersinggung atau bertanya-tanya dengan
sikap mereka. Seharusnya kita paham benar bahwasannya, dengan beranggapan
seperti demikian, kita hanya akan meremehkan budaya dan suku orang lain. Saling
toleransilah karena kita satu bangsa dan satu tanah air.
6) Narasumber
: atas nama Nurul Ramadhani. Ketika seseorang memiliki sikap etnosentrisme, itu
adalah hal wajar. Tapi kita perlu mengambil sikap dan memberikan penghargaan
kepada suku dan budaya lainnya sebagai bentuk toleransi, agar tak terjadi
perpecahan antara satu kelompok dan kelompok lainnya.
7) Narasumber
: atas nama Rahman. Mengakui bahwa iapun memilki sikap etnosentrisme, dan
meyakini setiap orang memilkinya. Tapi bila dia melihat suatu suku yang memilki
budaya yang lebih baik dia mengakui di dalam hatinya saja tanpa memberikan
penghargaan terus terang. Ini pun menurutnya dapat menghindarkan diri dari
masalah atau perpecahan, karena terkadang bila kita memberikan pengakuan
terhadap kelompok lain, justru kelompok kita sendiri yang memulai perpecahan.
8)
Narasumber
: atas nama Nofrianto. etnosentrisme juga dapat menjadi hambatan komunikasi lintas budaya. Apabila
seseorang masih memiliki pemikiran bahwa budayanya lebih unggul, ia akan
cenderung untuk membatasi komunikasinya dengan individu/kelompok dari budaya
asing yang bertentangan dengan budayanya. Hal inilah yang kerap
kali menimbulkan pertikaian antar individu/kelompok yang berbeda budaya, karena
yang satu merasa tidak dihargai oleh yang lain. Maka dari itu dibutuhkan empati
dalam komunikasi budaya untuk menghindari kesalahpahaman.
9) Narasumber
: atas nama Dina. Setiap orang berhak memilki sikap yang beranggapan bahwa suku
dan budayanyalah yang terbaik, asalkan dia tak menjelek-jelkkan suatu suku dan
budaya lainnya. Cara agar kita terhindar dari perpecahan ialah dengan memilki
cara pandang yang terbuka.
10)
Narasumber : atas nama Satriani. Etnosentrisme
dalam hal komunikasi dapat memberikan sesuatu yang positif. Misalkan dalam hal
bahasa daerah, etnosentrisme dapat menjaga keutuhan bahasa tersebut agar dapat
diwariskan turun-temurun dalam masyarakat, serta menumbuhkan kecintaan
masyarakat terhadap tradisi daerahnya. Namun, etnosentrisme
juga dapat menjadi hambatan dan memberikan efek yang negatif. Apabila
etnosentrisme bersifat infleksibel, seseorang akan kesulitan untuk menilai
perilaku orang lain berdasarkan latarbelakangnya karena ketidakmampuan untuk
keluar dari perspektif yang dimilikinya. Kita bisa mencegah terjadinya
perpecahan dengan cara berpikiran terbuka, menganggap perbedaan sebagai
kekayaan, hindari sikap menghakimi, menjalin kerja sama yang baik, dan jangan
langsung membuat asumsi dini.
b. Dokumentasi
4. Analisis Data
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari
berbagai suku, agama, ras dan golongan. Pluralitas masyarakat Indonesia ini
tentu melahirkan berbagai persoalan. Setiap suku, agama, ras dan golongan
berusaha untuk memperoleh kekuasaan dan menguasai yang lain.Pertarungan
kepentingan inilah yang sering memunculkan persoalan-persoalan di daerah.
Cara mengatasi sikap
Etnosentrisme :
·
Memberikan
Toleransi yang tinggi terhadap kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan
kita.
·
Menghargai
suku,agama,dan ras yang berbeda.
·
Jika
permasalahnnya karena miss communication bisa dengan mengadakan mediasi antar
kepala suku atau kepala daerah.
·
Pemerintah
harus lebih telaten dalam mengurusi masalah-masalah yang ada di sudut-sudut
Negara, jangan hanya terpaku pada ibu kota saja.
·
Pemerintah
harus lebih peka dan adil dalam pembuatan peraturan-peraturan agar tidak ada
yang merasa di anak tirikan dan merasa tidak di perdulikan oleh pemerintah..
·
Perbaikan
pada manajemen konflik agar mampu mengurangi konflik yang terjadi antara
kelompok minoritas dengan minoritas maupun antara kelompok minoritas dengan
mayoritas.